Aborsi Ilegal dan Aturan Gereja, Ancaman Nyata Wanita di Manila

Minggu, 13 Maret 2016 - 07:02 WIB
Aborsi Ilegal dan Aturan...
Aborsi Ilegal dan Aturan Gereja, Ancaman Nyata Wanita di Manila
A A A
MANILA - Saat itu tengah hari di kota gubuk Manila, ketika seorang jurnalis kontributor sebuah media ternama di Australia tiba di sana untuk memulai tugas peliputannya.

Gambar berlanjut dengan seorang wanita muda telah mengambil pil dan diberi minum, sebelum melakukan ‘pijatan’ cepat di perutnya yang menggelembung (hamil) dan bayinya yang belum lahir bakal keluar dari rahimnya.

Saat ia meletakkan celana dalamnya kembali, noda darah berserakan di atas selimut menyertai janin amat muda yang telah keluar dari rahimnya dan ditempatkan dalam kantong plastik.

Adegan mengejutkan itu tertangkap kamera tersembunyi dalam sebuah film dokumenter yang menjelajahi perdagangan aborsi ilegal di Filipina. Di mana diperkirakan 600.000 aborsi lewat jalan belakang/tersembunyi berlangsung setiap tahun justru di masyarakat dengan mayoritas beragama Katolik yang punya aturan ketat.

Reporter Jo Fuertes-Knight kemudian berbicara dengan seorang gadis anonim yang hamil pada usia 13 tahun dan mengambil pil aborsi pasar gelap diberikan kepada ibunya. Mereka memaksa keguguran pada saat usia kandungannya tiga bulan dan ia menguburkan bayinya di luar gerejanya.

"Aku mengeluarkan banyak darah. Amat sulit untuk mendorong bayi keluar, karena ia sudah berusia tiga bulan," tutur wanita yang sekarang telah berusia 16 tahun tersebut dan kini tengah mengandung anak kedua berusia lima bulan.

"Aku bahkan memeluknya (bayinya yang diaborsi). Dia telah lengkap (bentuk tubuhnya). Dia kecil tapi dia telah lengkap. Aku melihat matanya, hidung, mulut. Itu adalah sebuah janin dan aku memegangnya dengan lembut," seperti dilansir dari tulisan jurnalis Victoria Craw di situs news.com.au.

"Itu sangat menyakitkan bagiku, tapi aku harus melakukannya. Aku tidak ingin melakukannya tapi aku hanya seorang wanita yang baru berusia 13 tahun dan orang tua memintaku untuk melakukannya. Saat itu aku tidak tahu apa-apa tentang menjadi seorang ibu. Aku belum tahu apa-apa tentang kehidupan ini."

Sejurus kemudian, film dokumenter ini mengambil dari balik layar, melihat kehidupan di negara yang berisi hampir 100 juta orang tersebut. Dan sekitar seperempat dari mereka adalah wanita di usia reproduksi, mereka harusnya tunduk pada beberapa undang-undang aborsi ketat di dunia.

Meskipun Plakat Kesehatan Reproduksi 2012 dimaksudkan untuk menyediakan akses ke keluarga berencana untuk semua orang. Tapi implementasinya secara penuh telah diblokir dan terhenti oleh pejabat pemerintah di negara ini dan supremasi gereja, yang melarang penggunaan kontrasepsi dan justru telah membuat tabu pendidikan seksual.

Hasilnya adalah kecenderungan meningkat terhadap jumlah ibu remaja dari 6,1 persen pada tahun 2003 menjadi 7,7 persen pada 2013, menurut Guttmacher Institute. Lebih dari sepertiga anak-anak yang lahir dari wanita di bawah 20 itu tidak direncanakan, dengan hampir sepertiga dari remaja menikah juga memiliki kebutuhan yang belum terpenuhi untuk kontrasepsi.

Situasi ini telah menyebabkan PBB menuduh pemerintah negara itu menyangkal hak asasi warga wanita di sana, sebagai komplikasi dari aborsi dapat menempatkan hidup ke dalam risiko. Wanita miskin dan muda sangat terpengaruh dengan itu, dan pada bulan April 2015 PBB mengatakan bahwa seharusnya tidak ada pemisahan resmi antara gereja dan negara, "Agama telah diandalkan sebagai dasar untuk kebijakan kesehatan seksual dan reproduksi," untuk memastikan subyek tetap terpengaruh stigma.

Pemandangan di ruang perawatan ibu melahirkan di sebuah rumah sakit di Manila yang ada dalam film dokumenter ini. (newsapi.com.au)

Sebuah kenyataan lain yang lahir dari film dokumenter ini, menunjukkan kamar perawatan di sebuah rumah sakit di Manila penuh sesak. Di mana saat itu tengah terdapat 70-80 bayi yang lahir setiap hari, memaksa ibu dan bayi baru lahir untuk berbagi tempat tidur.

Di lantai bawah, rekaman bangsal didedikasikan untuk mengobati ibu dengan komplikasi dari aborsi, yang menunjukkan seorang dokter mengakui kepedulian kesehatan dapat dikompromikan oleh wanita yang tidak ingin mengakui apa yang telah mereka lakukan untuk menempatkan mereka di sana pada lantai atas.

Meskipun kenyataannya ini merupakan mimpi buruk, remaja di negara itu tetap enggan untuk mematahkan tabu sosial. Remaja laki-laki memberitahu Fuertes Knight bahwa mereka "sangat jarang" menggunakan kontrasepsi dan sama sekali tidak memiliki "kontrasepsi yang dapat digunakan pula".

Mereka juga mengatakan itu adalah "dosa besar" untuk memiliki anak yang di aborsi di negara di mana monumen untuk bayi yang baru lahir dan papan iklan pro-kehidupan berbaris di jalan-jalan kota.

Jaksa yang pro-kehidupan, Jo Imbong, adalah salah satu contoh dari pemimpin yang menerapkan agama untuk mempertahankan status quo. Dia mengatakan pendidikan seks harus berganti nama menjadi "nilai-nilai luhur" pendidikan. Dan opini publik tidak membuat sesuatu yang benar secara moral.

"Bahkan jika 99 persen dari masyarakat setuju dengan sesuatu yang ilegal, itu tidak membuatnya legal secara hukum," katanya.

Namun aktivis mahasiswa Kristine Dayawon tidak setuju, dan mengatakan para pemimpin di sana seperti memendamkan kepala mereka di dalam pasir.

"Pemerintah berpura-pura menjadi masyarakat Katolik, mereka mengatakan kondom itu kotor bla bla bla karena Anda seakan telah mempromosikan seks. Tetapi dalam kenyataannya, orang-orang sudah berhubungan intim," katanya.

"Itu normal. Mereka membuat diri mereka sendiri bodoh, sehingga mereka hanya akan mengikuti aturan yang ada."
(sbn)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1598 seconds (0.1#10.140)